Salah Kirim

0 komentar
Salah Kirim


Tersebutlah sebuah cowok bernama Kopral, pemuda berbadan jangkung dengan bodi kerempeng dan rambut dipotong kotak gaya tentara menghiasi dikepalanya. Entah kenapa, aku tak berdaya..eh sori kok jadi kaya bang Iwan, maksudnya entah kenapa temen-temennya pada manggil dia Kopral padahal sih nama aslinya Suyud. Siang dia berjalan memasuki sebuah rumah di sebuah kompleks perumahan RSS (Rumah Sangat Simple) di bilangan ibu kota. Dengan berlenggang kangkung di berjalan memasuki rumah, sementara bibirnya yang rada berbau bimoli (bibir monyong lima senti) bersiul-siul melagukan tembang goyang dombret.
Di kamarnya Kopral langsung melemparkan tas sekolahnya dimeja dekat tempat tidurnya, dan langsung aja tubuh kerempengnya dihempaskan, terlentang diatas tempat tidurnya. Tiba-tiba dari monyong bibirnya tersungging sebuah senyuman, pikirannya melayang menerawang mengingat kejadian yang tadi waktu disekolah dialaminya. Tentang Warsini teman sekelasnya yang cantik banget–menurut Kopral. Eit jangan salah meskipun namanya terdengar ndesani tapi anaknya gaul abis man.
Warsini adalah anak juragan kerupuk dari kampung Cibatu, sebenarnya sudah sangat lama Kopral menaruh hati tapi apa daya dirinya tak kuasa untuk mengungkapkan isi hatinya, jadilah perasaan itu dipendamnya dalam-dalam. Tapi entah kenapa pada waktu istirahat, tiba-tiba Warsini mengajak Kopral kekantin bareng, Kopral sampe ngucek-ucek mata dan telinganya, kali aja dia salah liat dan dengar. Sementara Pepsi, Topan dan yang lainnya yang kebetulan lagi pada duduk di situ langsung geleng-geleng kepala sambil mengusap dada. Kayanya Warsini salah ngajak orang, batin mereka.
“Pral, lo nggak ke kantin ?” tanya Warsini yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya.
Kopral kaget, bahkan sampe nggak bisa bernafas. Tapi untunglah dia bisa cepat-cepat mengendalikan keadaan.
“Pe..pengin sih.” jawabnya tergagap.
“Ya sudah ayo bareng sama aku.” ajak Warsini.
Kopral jelas nggak mau melewatkan kesempatan langka ini, dia langsung berdiri, dan dengan kaki gemetar dia pun berjalan meninggalkan ruang kelasnya.
“Yuk pren..” kata Kopral sambil melambaikan tangannya ke temen-temennya.
“Pral kok kakimu kok gemetaran gitu ?” tanya Warsini karena melihat dari tadi kaki Kopral keliatan bergetar.
“Nggak apa-apa kok, ini sudah biasa.”
“Ooo..” Warsini Cuma meng-O.
Di kantin keduanya begitu akrab, sementara beberapa pasang mata tampak memperhatikan pasangan ini. Meskipun Kopral masih kelihatan sangat malu dan memalukan, itu harap dimaklumi sebab Kopral tuh jarang banget jalan sama cewek.
Tapi memang nasib Kopral lagi mujur, Warsini pun minta dianter pulang, akhirnya dengan menaiki sepeda tua milik Dika-temen sekelasnya yang didapat dari warisan mbahnya, Kopral mengantarkan Warsini yang jarak rumahnya lebih dari sepuluh kilometer dari sekolahan. Dan Kopral pun iklas, sambil ngos-ngosan dia senyum-senyum sendiri dalam hati hanya berucap, cinta memang butuh pengorbanan.
“Yud…Suyud..sadar, nyebut Yud …” tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan memanggil dan tubuhnya terasa ditepuk-tepuk.
Kopral memperhatikan wajah perempuan yang memanggilnya, tiba-tiba wajah Warsini muncul dipelupuk matanya.Bak seperti di film-film, Pepsipun terpana, iler membasahi bajunya sampai dia lupa sama pipisnya. Merekapun kenalan.
“Warsini…” ucap Kopral kaget.
“Warsini, Warsini sopo, aku iki mbokmu.” kata wanita itu yang ternyata ibunya dengan logat jawanya yang medok.
Kopral tersadar dan tiba-tiba wajah Warsini menghilang dan berubah menjadi wajah wanita setengah baya, berbadan setengah gemuk mengenakan kebaya. “Simbok.” ucap Kopral. “Ngagetin aja.”
“Pral..Pral, lo itu kenapa, dari tadi dipanggilin kok nggak nyaut-nyaut, simbok liat lo malah lagi senyum-senyum sendiri, simbok jadi kaget, simbok kira lo kesurupan. ..”
“Simbok iku lho, masa nuduh anak sendiri kesurupan, aku itu esih waras, sehat wal apiat, nggak kurang suatu apa, masih inget dan sadar kalo satu ditambah satu itu dua.” kata Kopral sambil duduk di tempat tidurnya. Simbok biasanya kopral memanggil ibunya kalau dirumah memang memanggil dengan nama aslinya, Suyud.
“Terus, dari tadi lo senyam-senyum sendiri apa kalau bukan kesurupan ?”
“Ooo..itu, he..he..”
“Bocah ki lho, ditanya malah senyum-senyum.”
“Aku tadi itu lagi mikir.”
“Mikir apa, yang sampe senyum-senyum sendiri. Pasti mikir ngeres ya..” tebak Simbok.
“Simbok itu lho udah tua kok pikirannya ngeres, bukan..aku itu lagi mikirin temenku.”
“Mesti cah wedok sing dipikirin, ya udah sekarang lo makan dulu, abis itu jangan lupa anak asuhmu itu juga dikasih makan..” kata simbok.
“Anak asuh ? yang mana mbok. ?” tanya Kopral bingung.
“Itu kambingmu yang ada dibelakang.”
“He..he rebes kalo itu.”
Oh iya Kopral sejak tiga bulan yang lalu memang miara kambing yang dia taruh pokok di belakang rumahnya, yang cuman sisa empat meter persegi. Katanya sih buat kesibukan, ini anak memang aneh masa di perumahan miara kambing. Tapi meskipun dia sudah dikomplain sama tetangganya yang pada bau gara-gara kambingnya, Kopral cuek.
“Oh iya, simbok nanti mau minta tolong, lo nanti buatin surat buat simbah-mu di Yogyakarta, tadi pagi surat dari simbahmu dateng, bilangin kalo lebaran besok mungkin simbok nggak bisa mudik ke Yogya.”
“Lebarannya kan masih kurang enam bulan lagi, kok dikasih tahu sekarang.” kata Kopral, “..Surat..” tiba-tiba Kopral seperti mendapat ide di otaknya. Kenapa nggak terpikir dari tadi, kenapa nggak ngungkappin cinta lewat surat aja, pikir Kopral.
“Yud..lo kenapa, kok senyum-senyum lagi, kesurupan lagi ?” kata simboknya yang ngeliat Kopral senyam-senyum sendiri.
”Iya mbok..” jawab Kopral sambil melangkah ke ruang makan.
“Anak aneh..” ucap simbok sambil geleng-geleng kepala.
Kopral memang masih memanggil ibunya dengan simbok, maksudnya sih biar nilai jawanya nggak ilang.
Setelah makan siang.
Sambil memberi nyuapin rumput ke mulut Cornelia–kambing betina miliknya yang habis melahirkan lewat operasi caesar dua hari kemaren–Kopral ngalamun. Dia lagi berpikir kata-kata apa yang tepat buat mengungkapkan perasaannya pada Warsini. Maklumlah dia sama sekali belum pernah menulis surat untuk seorang cewek, paling banter dia juga cuma menulis surat ijin nggak masuk buat wali kelasnya itu aja nyontek.
“Eh Cornelia, kira-kira aku mesti nulis apa ya buat Warsini ?” tanya Kopral kepada Cornelia kambingnya yang lagi asik makan rumput dari tangannya.
“Mbeekk..” jawab Cornelia.
“Bener katamu, aku harus menulis kata-kata yang indah, yang menyentuh hati, misalnya kata-katanya gini buat Warsini pelabuhan hatiku, cintaku, sayangku, kasihku de el el, de es te, ah, gampang nanti biar aku nyontek aja di buku kiat-kiat menulis surat lamaran kerja. Tul nggak..”
“Mbeek..” jawab Cornelia meng-iyakan.
Kedua makhluk ini memang aneh kalo lagi bersama, Cornelia sepertinya tahu kalau dia sedang diajak curhat oleh tuannya, dan Kopral seolah paham dengan setiap ucapan Cornelia. (Lho emangnya kambing bisa ngomong)
“Heii..tanganku jangan ikut di makan.” teriak Kopral tersadar ketika setengah tangannya sudah masuk kedalam mulut Cornelia.
“Sorrriiiieeee…” ucap Cornelia.
Lalu keduanya pun tertawa bareng.
Ha..ha..mbeekk..mbeekk.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua menit empat puluh detik, empat satu detik, empat dua, empat tiga….ah, sudahlah kebanyakan.
Di sebuah kamar, didepan meja belajar sesosok tubuh kerempeng sedang khusyu merangkai huruf demi huruf menjadi sebuah kalimat, sesosok tubuh yang bukan lain milik Kopral itu terus khusyu memandangi kertas berwarna merah jambu didepannya.
Kertas merah jambu, itu kelihatannya belum terisi banyak kata hanya tertulis :

Kepada yang tercinta
Warsini
Di peraduannya…

Padahal Kopral sudah duduk didepan meja selepas sholat magrib, tapi baru kata-kata itu yang bisa dia hasilkan, alangkah mengenaskannya.
Pikirannya menerawang, memandang langit-langit, tiba-tiba tangannya bergerak menuntun pulpen hitam itu keatas kertas.

Dengan hormat,
Mendengar informasi dari hati nurani yang mengatakan bahwa Anda saat ini membutuhkan seseorang untuk menjadi kekasi, maka dengan ini saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Kopral
Alamat dulu : Desa Ndruwo Kab. Mbantul
Dengan ini memberitahukan dengan sebenar-benarnya bahwa saya jatuh cinta kepada Anda…

Kopral menghentikan gerakan pulpennya, diperhatikannya kalimat demi kalimat yang baru ditulisnya, “Kok sama sekali nggak mirip surat cinta ya, malah lebih mirip surat lamaran pekerjaan..” ucapnya pelan sambil garuk-garuk kepala.
Sementara dua ekor cecak yang dari tadi nempel didinding hanya geleng-geleng kepala sambil mengucapkan “cekk..cek..cek..”
Akhirnya kertas merah jambu itu bernasib sama dengan kertas merah jambu yang lainnya, terlempar kebelakang dan akhirnya jatuh di lantai bersama dengan puluhan kertas merah jambu lainnya yang sudah lebih dulu diterlantarkan.
Kopral menarik nafas panjang, dipandanginya langit-langit kamarnya tiba-tiba bayangan wajah Warsini yang sedang tersenyum terlihat menempel di langit-langit persis banget disebelah kedua ekor cecak yang dari tadi mengamatinya.
Kopral tersenyum. Lalu pandangannya beralih pada sebuah buku bersampul biru berjudul “KIAT-KIAT MENULIS SURAT LAMARAN KERJA “ yang dari tadi dedepannya, dibolak-balik buku itu “Kayanya aku nggak bisa nyontek kata-katanya dari buku ini “ ucapnya pelan. Lalu buku itu dilemparkan ke belakang dan jatuh, diantara kertas-kertas merah jambu yang berserakan di lantai.
“Demi Warsini aku harus bisa menulis kata-kata yang indah bak penyair di jaman Fir’aun.” ucap Kopral memantapkan tekadnya.

Kepada Warsini putri pujaan hati..
Yang bersemayam damai di pemakaman hati…
Harum bunga kamboja dimalam jum’at kliwon ini menambah besar rasa cintaku padamu.
Barisan batu nisan yang tertata rapi, seindah gigimu

“Surat cinta kok serem banget.”, ucapnya sambil mengusap tengkuknya, “Jadi merinding aku..hii..”, lalu kertas itu diremas dan dilemparkan kebelakang. Dan diapun menulisi kembali dengan kertas yang baru dengan kata-kata yang lain.

Jam “mungkin” menunjukkan pukul setengah satu malam (memakai kata mungkin karena dikamar itu tidak ada jamnya), Kopral sudah menguap sebanyak dua puluh tujuh kali, matanya sudah kelihatan sipit banget, padahal sudah diganjel pake korek api.
Setelah mencoba menulis surat sebanyak tiga ratus enam puluh kali akhirnya surat cinta itupun selesai. Tangannya sudah kelihatan gemetar, matanya sipit, dan jidatnya kelihatan keriput itu pertanda bahwa diotaknya sudah nggak ada ide. Dan dia pun bersiap untuk mengakhiri kegiatan menulis suratnya.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu, “oh iya tadi siang simbok nyuruh nulis surat balesan buat simbah di Yogya, waduh gimana ini, mana sudah ngantuk banget.” kata Kopral sambil garuk-garuk kepala. “Ya udah dari pada besok diomeli simbok, mendingan aku kerjain sekarang..” ucapnya memutuskan.
Akhirnya dia mengambil selembar kertas surat Air Ma’il, dan berlahan tapi nggak pasti pulpen ditangannya merangkai huruf menjadi kata-kata buat simbah di Yogya.
Waktu terus berjalan, Cornelia juga sedang terlelap dengan damai di kandangnya. Beberapa burung hantu yang bertengger di atap rumah tampak berbunyi menambah berkesannya malam (emang dikota ada burung hantu, maksa banget ya.)
Akhirnya setelah berjuang disela-sela kantuknya, surat untuk simbah tercinta pun selesai.
“Fiuhh..akhirnya selesai.” Kopral menarik nafas panjang. Rasa kantuk semakin membuat matanya terasa berat. Lalu diambilnya surat dua buah amplop, satu berwarna merah jambu dan satunya lagi berwarna putih. Lalu dengan terkantuk-kantuk dimasukkannya surat itu, tapi tanpa dia sadari sebuah kesalahan dia lakukan. Surat merah jambu itu ternyata di masukkan kedalam amplop putih dan kertas surat putih yang ditujukan buat simbah ternyata dimasukkan kedalam amplop merah jambu.
Dengan lidahnya, dijilatnya ujung amplop, itu lalu direkatkan tutup amplop itu. Setelah yakin semua selesai dia berjalan kearah tempat tidurnya dan lima detik kemudian terdengarlah suara ngorok dari mulutnya.

Keesokan paginya sambil Kopral berangkat pagi banget, abis subuh, rencananya sih mau nemuin Siti temen akrabnya Warsini buat nitip surat.
“Hah lo dateng kerumah gue abis subuh gini Cuma mau nitip surat ma gue buat Warsini ? nggak salah Pral.” Kata Siti yang masih dengan muka yang lecek karena baru bangun tidur.
“Iya, kenapa ?”
“Ya kenapa lo nggak kasih sendiri ke Warsini, kita kan sekelas.”
“Justru itu, masa gue nulis surat cinta terus gue anter sendiri kan nggak etis banget.”
“Alah, bilang aja lo malu, pake alesan nggak etis segala.”
“He..hee..he.” Kopral nyengir.
“Ya udah mana suratnya, tapi inget sepuluh ribu dulu.” Kata Siti.
“Buat apaan ?”
“Buat ngemie ayam sama es doger.”
“Lo itu sama temen sendiri aja perhitungan banget.” Sungut Kopral.
“Ya udah lo mau kagak, kalo nggak ya udah good bay gue mau nerusin tidur dulu.” Kata Siti sambil melangkah mau masuk rumah lagi.
“I..iya…iya gue mau, pemerasan banget nggak tau orang lagi susye..” kata Kopral sambil nyodorin yang sepuluh ribu yang udah lecek banget.
“Lecek banget.” Kata Siti sambil memandang uang yang baru diterima dari Kopral.
“Mau nggak, kalo nggak ya gue ambil lagi.” Kata Kopral sambil mengayunkan tangan merebut uang yang ada di tangan Siti, tapi Siti buru-buru menghindar.
“Eit, kucing juga doyan sama yang namanya duit. Udah ya..”
“Ini suratnya.”
“Oh iya, sori gue lupa. dah” kata menyambar surat merah jambu yang ada ditangan Kopral, lalu nyelonong pergi.
“Dasar matre.”
Kopral tersenyum satu tugas telah selesai, sekarang dia bisa tenang, tinggal menunggu reaksi dari Warsini.

Jam istirahat kedua, kelas 2 IPA 2 tampak sepi, hanya beberapa orang yang ada dikelas itu. Kopral lagi asik duduk dibangkunya sambil melamun. Tiba-tiba cewek dengan rambut panjang sepinggang yang dibiarkan terurai, bak rambutnya model iklan sampo itu berjalan menghampiri Kopral.
“Pral, gue mau ngomong sama lo.”
Kopral menoleh, dan Deg tiba-tiba jantungnya seolah berhenti berdetak, ketika dilihatnya Warsini cewek yang selama ini ditaksirnya berdiri disampingnya.
“Eh, Oh iya, ada apa ?” tanya Kopral tergagap, jangan-jangan ini masalah surat yang di kirim tadi pagi, batinnya.
“Boleh duduk..” tanya Warsini.
“Oh..oh boleh. “ kata Kopral sambil menggeser posisi duduknya ke bangku sebelahnya yang kosong.
Nafas Kopral seolah berhenti bernafas ketika Warsini duduk disampingnya, sementara beberapa pasang mata yang ada dikelas itu tampak memandang kearah mereka termasuk Pepsi, tapi Kopral cuek. “Ada apa ya ..” tanya Kopral.
“Pral, lo yang menulis surat ini buat gue ?” tanya Warsini sambil mengeluarkan sebuah amplop surat berwarna merah jambu dari saku bajunya.
Deg, jantung Kopral kembali berhenti berdetak begitu melihat amplop yang memang dia kirim tadi pagi lewat Siti.
“Ini dari lo kan Pral ?” ulang Warsini
Kopral mengangguk.
“Terus maksud lo apa ?”
“Ya itu..” kata Kopral.
“Itu apa ?” kata Warsini.
“Kan semua sudah gue tulis, di surat itu..” kata Kopral.
“Ooo, tapi gue masih nggak ngerti ?”
“Kok gitu, perasaan gue sudah menuliskan dengan gaya bahasa yang lugas romantis dan mudah dipahami.” Kata Kopral.
“Tapi gue tetap nggak ngerti, jujur aja pertama kali gue ngebaca surat dari lo itu gue marah banget, tapi jujur aja gue nggak ngerti makanya gue minta kejelasan dari lo.”
“Ngg…nggak ngertinya dimana ?” kata Kopral sambil memberanikan memandang kearah Warsini.
“Ya, kenapa lo manggil gue mbah, emangnya gue itu sudah tua banget.”
Kopral kaget, dia mengingat-ingat isi surat yang kemarin dia tulis buat Warsini, “Perasaan gue nggak pernah manggil lo mbah.” Kata Kopral. “jangan…jangan..” kata Kopral seolah teringat sesuatu.
Lalu buru-buru direbutnya surat dari tangan Warsini dan buru-buru diambil isinya. Alangkah terkejutnya ketika dilihatnya sebuah kertas surat berwarna putih, dan didalamnya tertulis kata-kata buat simbahnya.
“Su..su..suratnya ketukar.” Kata Kopral dengan wajah pucat pasi.
Warsini bingung melihat Kopral “Maksud lo..”
“I..ini surat buat simbah ku, jadi surat yang gue tulis surat buat simbah itu surat yang harusnya buat lo.” Kata Kopral lalu pingsan.
Melihat Kopral pingsan Warsini kaget, “Pral..Pral bangun lo kenapa Pral ?” kata Warsini sambil mengguncang-guncangkan tubuh Kopral. “Tulung….tulung, Kopral pingsan.” teriak Warsini meminta pertolongan.
Lalu Pepsi dan Siti yang melihat kejadian itu dari balik jendela langsung berhambur, melihat kearah Kopral yang pingsan.
“Ooo, ternyata pingsan kirain ada apa.” Kata Ediot santai.
“Kok gitu, ayo tolong.” Kata Warsini.
“Lho emang pingsan mesti ditolong ya.” Kata Edi sambil garuk-garuk kepala.
Yang lain bengong, sementara Kopral langsung kejang-kejang.

Sementara itu nun jauh disana, di Yogyakarta..
Seorang tukang pos tampak memperlambat sepeda motornya, lalu berhenti disebuah rumah.
“Pos..” teriak tukang pos.
Seorang perempuan tua yang dari tadi sedang duduk di teras depan rumahnya yang terbuaka tampak tergopoh-gopoh menghampiri. “Dari mana ya.”
“Dari Jakarta mbah..” jawab pak pos. “Ini mbah.” Kata pak pos sambil menyerahkan surat itu “Tanda tangan dulu..”
“Memang perlu.”
“Oh itu untuk administrasi aja..”
“Oh, jaman sekarang mau nerima surat aja mesti tanda tangan, ngerepotin.” kata nenek sambil mengambil puplen yang disodorkan pak pos.
“Dimana ?”
“Disini mbah..” kata pak pos sambil menunjuk kebagian bawah bukti penerimaan, tempat sang nenek harus tanda tangan.
Lalu tangan nenek itu pun bergerak lincah membubuhkan sebuah tanda silang.
“Kok disilang mbah.” Kata pak pos ketika simbah itu hanya membuat tanda silang.
“Itu tanda tangan saya..” jawab simbah enteng sambil ngeloyor pergi meninggalkan pak pos yang bengong.
“Simbah yang aneh..” ucap pak pos sambil geleng-geleng kepala.
“Dari siapa mbah ?” tanya seorang lelaki tua yang sedang duduk dikursi, dengan ditemani segelas wedang kopi.
“Tau ini, katanya dari Jakarta, paling-paling dari anak kita, Paijem kalo nggak si Suyud.”
“Ya sudah dibaca mbah kakung pengin tau isinya. “
Simbah putri lalu membuka surat itu, dan diambilnya selembar kertas surat berwarna merah jambu dari dalam amplop. “Wah cucu kita memang gaul dan funky abis, masa nulis surat buat simbahnya pake kertas merah jambu, kaya orang pacaran aja.”
“Namanya juga sudah modern, emang kita yang dulu pacaran aja nulis suratnya mesti diatas daun lontar kalo nggak daun pisang..he..he.” jawab mbah kakung sambil tertawa, dan terlihatlah barisan gigi yang berwarna merah..eh salah ding itu bukan gigi tapi gusi rupanya dia sudah omtot alias ompong total.
Setelah memasang kacamata yang dari tadi tergantung di dadanya, perlahan-lahan simbah putri mulai membaca bait demi bait kalimat yang tertulis diatas kertas surat itu. Tiba-tiba tubuh nenek kejang-kejang dan akhirnya pingsan.
“Mbah..mbah putri kenapa ?” kata mbah kakung kaget sambil menggoyan-goyangkan tubuh istrinya yang pingsan.
Karena nggak bangun-bangun, tiba-tiba mata mbah kakung tertuju kepada amplop yang tadi dibaca nenek. Dan perlahan dia mulai membacanya.
Tiba-tiba dari ubun-ubun kepalanya keluar asap tipis, wajahnya merah karena cemburu. “Cucu kurang ajar, nenek sendiri masih mau diembat juga..kurang a..ajjar..” kata mbah kakung lalu kejang-kejang dan akhirnya pingsan disamping tubuh istrinya.

If you like this post, please share it!
Digg it StumbleUpon del.icio.us Google Yahoo! reddit

No Response to "Salah Kirim"

Posting Komentar